Tadabbur terhadap al-Quran, tidak akan bisa terwujud bila seseorang tidak tahu makna atau tafsir dari ayat tersebut. Pada edisi kali ini, kami bawakan bahasan tentang sumber-sumber rujukan dalam menafsirkan al-Quran. Semoga Allah memudahkan kita dalam men-tadabburi ayat-ayat-Nya.
Penerjemah dari Allah Ta'ala
Sebelum masuk ke inti bahasan, kita perlu mengetahui tentang kewajiban kita dalam menafsirkan al-Quran. Syaikh 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kewajiban seorang muslim dalam menafsirkan al-Quran ialah menempatkan dirinya sebagai penerjemah dari Allah Ta'ala, sebagai saksi bagi-Nya terhadap apa yang diinginkan oleh kalamullah; sehingga dia akan memandang besar persaksian ini, dan takut berbicara tentang Allah tanpa ilmu, serta melakukan perbuatan yang diharamkan-Nya yang menyebabkan dia mendapat kehinaan di Hari Kiamat. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: 'Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A'raf: 33)” (Ushul fi Tafsir)Sumber-sumber Rujukan dalam Menafsirkan al-Quran
Para ulama telah menjelaskan dalam kitab-kitab mereka tentang sumber-sumber rujukan dalam menafsirkan al-Quran. Sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut:1. Firman Allah, yaitu al-Quran ditafsirkan dengan al-Quran.
Hal tersebut dikarenakan Allah-lah yang menurunkan al-Quran sehingga Dia lebih mengetahui apa-apa yang diinginkan dari firman-Nya tersebut. Cara ini merupakan cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran.
Contoh dari tafsir al-Quran dengan al-Quran ialah firman Allah yang artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62) Allah menafsirkan 'wali-wali Allah' dengan firman-Nya dalam ayat setelahnya (yang artinya), “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”(QS. Yunus: 63)
2. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu menafsirkan al-Quran dengan sunnah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hal tersebut dikarenakan Rasulullah adalah manusia yang menyampaikan syariat dari Allah Ta'ala sehingga beliau merupakan manusia yang paling mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah dari firman-Nya tersebut. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (QS. An-Nahl: 44) Imam Ahmad mengatakan: “Sunnah merupakan tafsir dari al-Quran dan penjelas baginya.” Perkataan yang serupa juga dikatakan oleh Imam Syafi'i rahimahumallah.
Contoh dari tafsir al-Quran dengan sunnah ialah firman Allah Ta'ala yang artinya, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahan. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus: 26) Rasulullah menafsirkan 'tambahan' dengan 'melihat wajah Allah', sebagaimana terdapat dalam hadits dari Suhaib bin Sinan radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah. Banyak hadits serupa yang menjelaskan makna seperti itu.
3. Perkataan Shahabat, khususnya mereka yang berilmu dan mempunyai perhatian khusus di dalam ilmu tafsir.
Hal tersebut karena al-Quran turun dengan bahasa mereka, dan di masa mereka. Selain itu, mereka merupakan manusia yang paling jujur (setelah para nabi) dalam mencari kebenaran, paling selamat dari hawa nafsu, paling bersih dari penyelisihan-penyelisihan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang dapat menghalangi seseorang dari taufik Allah Ta'ala.
Contoh tafsir al-Quran dengan perkataan shahabat ialah firman Allah Ta'ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43) Telah shahih atsar dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dimana beliau menafsirkan 'menyentuh' dengan 'bersetubuh'. (Mushannaf 'Abdurrazzaq, dan selainnya)
4. Perkataan Tabi'in yang menaruh perhatian terhadap ilmu tafsir yang mereka ambil dari para shahabat.
Hal tersebut dikarenakan tabi'in merupakan manusia terbaik setelah para shahabat, dan mereka lebih selamat dari hawa nafsu dibandingkan dengan orang-orang yang datang setelah mereka, serta bahasa arab belum banyak berubah pada masa mereka; sehingga mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan al-Quran dibandingkan dengan orang-orang setelah mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia (setelah para nabi) adalah orang-orang yang ada pada generasiku (yaitu para shahabat), kemudian setelah mereka (yaitu para tabi'in), kemudian setelah mereka.” (HR. Bukhari dan selainnya).
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Jika tabi'in bersepakat atas suatu perkara, maka tidak diragukan lagi ke-hujjah-annya. Apabila mereka berbeda pendapat, maka kita tidak bisa menjadikan perkataan sebagian mereka sebagai hujjah (bantahan) atas sebagian yang lain, baik dari kalangan tabi'in, ataupun orang-orang yang datang setelah meraka; sehingga penyelesaiannya dikembalikan kepada bahasa al-Quran, atau sunnah, atau keumuman bahasa arab, atau pendapat shahabat dalam perkara tersebut.” (Majmu' Fatawa)
Contoh penafsiran al-Quran dengan perkataan tabi'in ialah firman Allah yang artinya, “Kemudian Dia istawa ke langit.” (QS. Al-Baqarah: 29) Mujahid rahimahullah mengatakan, “Istawa ialah naik tinggi.”
5. Segala sesuatu yang ditunjukkan oleh makna-makna syar'iyyah atau lughawiyyah (bahasa) yang sesuai dengan konteks kalimat.
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 3)
Allah juga berfirman yang artinya, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
Demikain bahasan utama kali ini. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Wallahu Ta'ala a'lam.
Marji' utama: Ushul fi Tafsir, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahulla.